Dampak Bencana Alam Terhadap
Kesehatan Masyarakat
Oleh: A
Arsunan Arsin
Guru
Besar Epidemiologi FKM
Universitas
Hasanuddin
Alam semesta menyimpan sejuta keindahan dan manusia
sebagai penghuni selayaknya mampu memelihara
dan mengelolanyadengan baik sebagai
ciptaan Tuhan. Alam semesta juga menyimpan banyak misteri dimana
manusia tidak mampu mengurainya satu
persatu. Untuk itu, dalam kondisi berbeda alam semesta bisa
saja menunjukkan ‘fenomena’ melalui bencana
alam, kondisi ini terjadi sebagai
akibat ketidakseimbangan ekosistem. Banyak kondisi bencana
alam yang kejadiannya secara alamiah ‘natural disaster’, dan tidak sedikit
bencana alam terjadi karena ulah dan kelalaian manusia ‘man made disaster’.
Natural
Disaster
Bencana alam
terjadi oleh karena ‘kemauan’ alam, artinya kondisi alam yang berada
dalam posisi sewaktu-waktu terkena bencana. Indonesia adalah salah satu negara
dengan posisi yang strategis dan potensial timbul bencana alam seperti gempa bumi,
letusan gunung, tanah longsor, banjir dan tsunami. Kondisi ini tidak terlepas dari
letak geografis dan pemetaan musim
(hujan dan kemarau) di beberapa wilayah. Bencana gempa bumi dan tsunami
diakibatkan oleh pergeseran lempeng tektonik di lapisan kerak bumi, mengingat di
Indonesia terdapat garis lempeng tektonik Indo-Australia, sehingga ‘lempengan’ tersebut sewaktu-waktu dapat
bertabrakan di dasar laut dan berakibat gempa bumi.
Made
disaster
Bencana alam seperti ini terjadi karena ulah dan
kelalaian manusia. Misalnya dengan
berbagai aktifitas pembangunan infrastruktur,
penebangan pohon tidak terkendali, pembukaan lahan dimana-mana (pemukiman dan
tanah garapan). Kondisi tersebut berpotensi mengurangi tempat/daerah resapan
air, ditambah perilaku manusia yang suka buang sampah di sungai
dan saluran air lainnya, dan pada gilirannya dapat menyebabkan banjir lokal
ataupun banjir bandang. Faktor perilaku lainnya yang potensial menyebabkan
bencana adalah membakar dan atau buang
puntung rokok di hutan, hal ini dapat menyebabkan kebakaran hutan, selain
terjadi penggundulan hutan juga asap yang berlebihan dapat menjadi bencana bagi
manusia.
Dampak
Kesehatan
Beberapa gangguan kesehatan paska bencana alam. Dampak letusan gunung berapi adalah tercemarnya
udara dengan abu gunung berapi (vulkanik) yang mengandung bermacam-macam gas
mulai dari silika, mineral dan bebatuan, khlorida, natrium, kalsium, magnesium,
sulfur dioksida, gas hidrogen sulfide atau nitrogen dioksida, serta beberapa
partikel debu yang berpotensi meracuni makhluk hidup di sekitarnya. Paparan
debu sangat berbahaya bagi bayi, anak-anak, warga usia lanjut dan orang dengan
penyakit paru kronis seperti asma. Debu gunung berapi bisa mengakibatkan luka
bakar, iritasi pada kulit dan mata, atau penyakit infeksi dan pernapasan
seperti pneumonia dan penyakit paru
akibat debu yang mengandung silika. Gas yang keluar dari gunung berapi adalah
gas yang larut dalam air, karbondioksida, dan sulfur dioksida. Sulfur dioksida
dapat menyebabkan gangguan pernapasan, baik pada orang sehat maupun penderita
penyakit paru. Secara umum berbagai gas
dari letusan gunung berapi dalam dosis rendah dapat mengiritasi mata, hidung
dan tenggorokan, tapi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan sesak napas, sakit
kepala, pusing serta pembengkakan atau penyempitan saluran napas.
Masalah kesehatan pasca-tsunami adalah kerusakan multisektoral
antara lain kerusakan fasilitas kesehatan, sehinga anggota masyarakat yang
sakit atau cacat akibat ‘serangan’ tsunami mengalami kesulitan dalam mengakses
pelayanan kesehatan seperti pengobatan yang adequate. Kondisi kesehatan
lingkungan pasca-tsunami memprihatinkan dengan sanitasi yang buruk. Minimnya
fasilitas air bersih, binatang perantara bibit penyakit merajalela (tikus,
lalat, nyamuk dan zoonosis lainnya) yang potensial menimbulkan epidemi penyakit
(malaria, demam berdarah, filariasis, cikungunya, leptospirosis, kolera, diare,
dan penyakit infeksi lainnya). Tak
kalah pentingnya adalah beban ‘trauma’ psikis yang berkepanjangan bagi yang kehilangan anggota keluarga dan harta
benda lainnya. Selanjutnya kurang tersedianya sandang dan pangan yang memadai
mengakibatkan anggota masyarakat mengalami kekurangan ‘intake’ zat makanan atau
gizi yang optimal.
Beberapa penyakit yang potensial mengganggu kesehatan
masyarakat dan perlu diwaspadai pascabanjir adalah sebagai berikut: diare. Penyakit
ini berkaitan erat dengan konsumsi air bersih untuk minum dan memasak. Saat musim penghujan, khususnya saat banjir,
banyak sumber air bersih termasuk sumur dan air ledeng ikut tergenang dan
tercemar, sehingga kondisi ini berdampak pada sulitnya mengakses air yang layak
untuk dikonsumsi. Diare dapat menular
dengan cepat dari satu individu ke individu lainnya karena selain akses air
bersih yang sulit juga kontaminasi kuman ‘agent’ diare bisa menjalar ke tempat yang
menjadi sumber mata air minum bersama. Penyakit lainnya terkait dengan kontaminasi air adalah kelainan yang timbul seperti
iritasi kulit, kutu air, dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Hal ini
disebabkan aktifitas yang dilakukan pada genangan air, khususnya pada anak-anak yang
memanfaatkan air untuk bermain. Demam berdarah
(DBD), malaria, filariasis dan chikungunya juga meningkat prevalensinya pascabanjir. Dampak lain bencana alam dalam skala besar adalah memunculkan banyak tenda
pengungsi atau dengan kata lain
anggota masyarakat yang selamat biasanya diungsikan dan ditampung sementara di
tempat pengungsian. Masalah muncul
karena penanganan pengungsi biasanya tidak optimal, khususnya dari aspek kesehatan.
Kelompok penduduk paling rentan terhadap
di tempat pengungsian adalah kelompok anak bayi dan balita, kelompok manusia
lanjut usia, kelompok wanita dan ibu hamil dan menyusui. Kelompok anak bayi dan
balita, kondisi tempat pengungsian biasanya ‘tidak ramah’ sehingga bayi sangat
rentan terhadap penyakit tertentu seperti campak, ISPA dan diare. Kelompok anak
balita tingkat kerentanannya pada
masalah kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti tetanus, diare dan ISPA dan
penyakit kulit. Kelompok manusia lanjut usia (Manula) tingkat kerentanannya tinggi
karena ‘keterbatasan’ fisik, kepadatan
penghuni bisa memicu penyakit TB paru, ISPA dan
penyakit infeksi lainnya. Sedangkan kelompok terakhir yang cukup rentan adalah
kelompok wanita dan ibu-ibu, biasanya karena ‘keterbatasan’ fasilitas dan
sarana sehingga wanita mengalami kesulitan, misalnya wanita yang mengalami
‘datang-bulan’ padahal akses air bersih terbatas dan ibu menyusui rentan dengan
berbagai risiko kesehatan baik untuk dirinya maupun untuk bayinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar