Label

Rabu, 25 Juni 2014

PERSEPSI PENCEGAHAN DI DALAM PENGOBATAN PENYAKIT


Dipublikasikan pada Harian Tribun TImur 23 Mei 2014
PERSEPSI PENCEGAHAN DI DALAM PENGOBATAN PENYAKIT                        
Oleh
A  ARSUNAN  ARSIN
Pembina Utama FKM
Universitas Hasanuddin

 Slogan yang akrab kita dengar sediakan payung sebelum hujan sering dianalogikan  dengan tindakan pencegahan (preventif) dan memakai payung jika kehujanan dianalogikan dengan tindakan pengobatan (kuratif). Slogan ini tepat pada konteksnya dalam artian pencegahan dan pengobatan penyakit tidak dalam posisi yang satu lebih penting dari yang lainnya atau dikatakan keduanya adalah komplementer.
Pencegahan penyakit merupakan salah satu cara pelayanan kesehatan yang menurut sebagian masyarakat kurang menarik, karena tidak  langsung diperoleh manfaatnya, hal ini dapat dimaklumi bahwa bentuk pelayanan kesehatan masih cenderung diberi bobot lebih  pada tindakan pengobatan.  Pelayanan kesehatan dalam bentuk pengobatan adalah  permintaan atau tuntutan dari masyarakat yang kebetulan dalam kondisi sakit dan butuh segera pertolongan. Pada dasarnya pelayanan kesehatan kuratif sering memberi dampak langsung terhadap penyembuhan, sehingga masyarakat  langsung merasakan manfaatnya. Sedangkan aspek pelayanan preventif  penyakit yang dilakukan di masyarakat, biasanya  membutuhkan ‘waktu’  untuk merasakan efek dari sebuah tindakan pencegahan penyakit, tergantung jenis penyakit yang sifatnya akut (cepat) maupun  khronis (menahun). Hal ini membuat tindakan pencegahan  kurang  populer di kalangan masyarakat luas.
Tujuan sistem kesehatan nasional ialah terwujudnya kemampuan untuk hidup sehat bagi setiap penduduk, supaya dapat mewujudkan status kesehatan masyarakat yang optimal. Dalam sejarahnya telah terjadi perubahan orientasi nilai dan pemikiran  seiring dengan perkembangan teknologi dan sosial budaya masyarakat. Upaya kesehatan yang semula hanya  pengobatan untuk kesembuhan pasien,  sekarang  berkembang ke arah kesatuan upaya kesehatan yang holistik untuk masyarakat melalui upaya peningkatan (promotif), pencegahan (preventif), pengobatan (kuratif) dan pemulihan (rehabilitatif) yang bersifat menyeluruh, terpadu dan berkesinambungan.
Pencegahan penyakit secara luas, bukan hanya meliputi  pemberian penyuluhan untuk peningkatan kesehatan (health promotion),  pada level ini untuk menjaga keseimbangan (balancing) dari peluang paparan bibit penyakit,  sehingga dapat menguntungkan manusia dengan cara meningkatkan daya tahan tubuh dan memperbaiki kebersihan, baik kebersihan diri (hygiene perorangan) maupun kebersihan lingkungan (sanitasi lingkungan), seperti penyediaan air bersih, pola pembuangan sampah dan limbah.  Selanjutnya meningkatkan pemahaman mengenai pencegahan penyakit yang terkait  dengan pola dan gaya hidup, seperti risiko jantung, diabetes  dan penyakit non infeksi lainnya. Pada level ini juga pencegahan penyakit  dilakukan dengan memotivasi masyarakat untuk melakukan olah raga yang teratur, kesempatan melakukan relaksasi untuk perkembangan mental sosial, dan juga  pengadaan konsultasi  pra-nikah dengan memberi gambaran terkait penyakit berbasis genetik dan herediter.
 Upaya lain  dalam bentuk perlindungan umum dan khusus terhadap penyakit tertentu (general and specific protection), menghentikan proses interaksi bibit penyakit-pejamu-lingkungan pada tahap awal penyakit (prepatogenesa). Selanjutnya tindakan perlindungan dalam bentuk imunisasi  (penyakit terkait imunisasi, seperti campak, diphteri, peretusis, tetanus, tbc, polio dan hepatitis)  dilakukan pada seseorang atau  masyarakat yang  berisiko tinggi (high-risk) terpapar penyakit tertentu dan  potensial menjadi sumber penular. Perlindungan lainnya untuk mencegah penyakit di tempat kerja dengan mengunakan alat pelindung diri dan posisi kerja ergonomis, perlindungan terhadap bahan  bersifat karsinogenik dan beracun maupun alergi.
            Pencegahan selanjutnya dengan penegakan diagnosa secara dini dan pengobatan yang cepat dan tepat (early diagnosis and prompt treatment),  tindakan ini bertujuan  mendeteksi dan menemukan jenis penyakit sedini mungkin, dengan harapan bahwa penemuan penderita secepatnya dan disertai pengobatan yang tepat, maka dapat dilakukan pencegahan supaya penyakit tidak berlanjut  dan bisa mengurangi beban penyakit di masyarakat.  Salah satu bentuk kegiatan  pemeriksaan berkala pada ibu-ibu hamil, akan terdeteksi  ibu hamil mana saja yang potensi bayinya  mengalami ‘masalah’, berdasarkan hasil pemeriksaan  dilakukan langkah-langkah pencegahan supaya bayi lahir tidak mengalami masalah.  Tindakan lain dengan penemuan penyakit lebih dini, seperti TBC paru, penderita  tersebut diobati dengan tepat, artinya selain dapat disembuhkan juga  mencegah dan  memutus rantai penularan.
            Pencegahan selanjutnya adalah tindakan penatalaksanaan atau terapi yang tepat pada penderita yang mengalami penyakit tahap lanjut (potensi cacat tubuh), tindakan ini dilakukan untuk mencegah   penyakit tidak komplikasi dan kalaupun sudah cacat maka diupayakan supaya kecacatan tidak berlanjut (diissability limitation).
Upaya pencegahan pada tahap  pemulihan (pemulihan) adalah tindakan dilakukan untuk mengembalikan penderita ke tengah-tengah masyarakat dan memberikan motivasi untuk hidup dengan disertai rasa percaya diri, upaya ini dilakukan untuk mencegah  penderita penyakit tertentu (terkesan stigma di masyarakat) merasa rendah diri dan pada saat yang sama masyarakat dihimbau untuk menerima dan tidak mengucilkan serta mendukung upaya rehabilitasi dari penderita tersebut.  
Pencegahan dalam arti luas tidak hanya terbatas ditujukan terhadap seseorang yang sehat tetapi dapat pula ditujukan terhadap penderita yang sedang sakit atau kurang sehat,. sesuai dengan batasan pencegahan yakni tindakan  menjaga jangan sampai terjadi sesuatu yang lebih parah ‘prompt treatment and limiting disease’ yakni penyakit yang sudah terjadi atau terjangkit seharusnya diobati untuk mencegah komplikasi dan membatasi penyakit berlanjut. Berdasarkan batasan tersebut seharusnya tindakan klinis kedokteran termasuk kejiwaan berupa pelayanan pengobatan sesegera-mungkin  dalam   mencegah  ‘fenomena 6 D yaitu death (kematian), disease (kesakitan), disability (kecacatan), discomfort (ketidaknyamanan), dissatisfaction  (ketidakpuasan), dan destitution (penderitaan).

Dari uraian yang telah disebutkan, menunjukkan bahwa upaya pencegahan dan upaya pengobatan bukan sesuatu yang terpisah tapi  saling melengkapi, ibarat dua sisi mata uang yang satu melengkapi yang lainnya. Upaya  dilakukan dalam meningkatkan status kesehatan masyarakat adalah upaya pelayanan kesehatan  berupa tindakan pencegahan dan upaya pelayanan kesehatan berupa tindakan pengobatan, harus dilakukan secara berbarengan (parallel) dan sifatnya simultan.

PERAN SURVEILANS DALAM PENGENDALIAN PENYAKIT

Diterbitkan pada Harian Fajar pada tanggal 19 April 2014


PERAN SURVEILANS  DALAM  PENGENDALIAN PENYAKIT
Oleh: A Arsunan Arsin
Guru Besar Epidemiologi FKM
Universitas Hasanuddin

Berbagai masalah kesehatan muncul di masyarakat tidak lain dan tidak bukan  karena kurangnya pemantauan dan kewaspadaan dini, hal ini menimbulkan potensi ‘ledakan’ penyakit yang cenderung berulang di tengah masyarakat. Kondisi pemantauan dini selayaknya terus dikembangkan terhadap pola kejadian penyakit di setiap wilayah, khususnya penyakit tertentu yang cenderung ‘laten dan endemis’ di wilayah dan pemukiman tertentu, masyarakat perlu memahami dengan baik fungsi pemantauan penyakit dan kewaspadaan sedini-mungkin. Salah satu tugas penting dari pemangku  kepentingan dan perangkat kesehatan adalah mensosialisasikan fungsi surveilans di kalangan masyarakat.  
Istilah Surveilans belum terlalu dikenal masyarakat umum, masyarakat lebih sering mendengar dan lebih akrab dengan  istilah ‘Survai’. Secara harfiah, Surveillance berasal dari kata survey yang artinya mendata sesuatu atau mencatat dan atau mengawasi. Surveilans kesehatan ialah suatu kegiatan pengumpulan data secara sistematis,  kemudian dianalisis, diinterpretasi, dan dilakukan diseminasi hasil dari data yang diperoleh terkait dengan peristiwa atau kejadian yang menyangkut kesehatan untuk kemudian digunakan dalam tindakan mengurangi angka kesakitan ‘morbiditas dan angka kematian ‘mortalitas serta pada gilirannya untuk meningkatkan status kesehatan masyarakat. Dari aspek epidemiologi, surveilans  merupakan pengamatan secara teratur dan terus menerus terhadap semua aspek penyakit tertentu baik keadaan maupun penyebarannya dalam suatu kelompok penduduk tertentu untuk kepentingan pencegahan dan penanggulangan. Di sini jelas terlihat bahwa dalam surveilans ditekankan bahwa kegiatan tersebut merupakan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan yang sifatnya ‘sustainable’.
Pentingnya kegiatan surveilans sedapat-mungkin memberikan informasi dan data yang tepat waktu tentang masalah kesehatan di suatu wilayah  dan lokasi tertentu, hal ini memudahkan petugas kesehatan (dokter, ners, epidemiolog, health-planner, sanitarian, nutrision dan ahli kesehatan lainnya) untuk  segera melakukan tindakan penanggulangan atau mencegah ‘merebaknya’ penyakit, terlebih penyakit yang sifatnya musiman. Salah satu manfaat langsung dalam pengendalian penyakit, misalnya di suatu wilayah atau daerah dilakukan surveilans yang teratur, maka dengan mudah penanggulangan penyakit  dilakukan dengan pendekatan ‘bridge-theory’ yakni mencegah dan memotong jalur berjangkitnya penyakit, dengan tersedianya informasi  akurat mengenai penyakit tertentu yang cenderung ‘mewabah’ dari tahun ke tahun pada bulan-bulan tertentu, maka dengan teori ini, petugas kesehatan  dapat mengantisipasi satu atau dua bulan sebelum ‘waktu’ masa kejadian penyakit yang telah diperkirakan sebelumnya. Artinya, petugas kesehatan bisa menginformasikan ke masyarakat luas untuk secara bersama-sama ikut memikirkan dan melakukan tindakan  mengurangi atau menghilangkan faktor risiko apa saja  berpeluang memicu munculnya penyakit. 
 Fungsi survailens lainnya  dengan mengamati terus-menerus (kontinu) secara sistematis mengenai perubahan dan kecenderungan pola penyakit dan faktor risiko terkait, serta hasil pantauan  dianalisis dan ditampilkan dalam bentuk ‘data’ yang siap didiseminasikan (sebar-luaskan) untuk diketahui khalayak ramai (masyarakat). Sehingga dapat dilakukan langkah  investigasi dan pengendalian penyakit dengan cepat dan tepat sasaran. Surveilans yang berkesinambungan  memantau kondisi penyakit di masyarakat, hasilnya  memberikan pemahaman yang baik bagi pemangku kepentingan dan  memetakan wilayah tertentu yang penduduknya rawan  terkena masalah kesehatan.  
Surveilans bertujuan memberikan informasi tepat waktu tentang masalah kesehatan, sehingga penyakit dan faktor risiko dapat dideteksi dini dan  dilakukan respons pelayanan kesehatan lebih efektif. Surveilans membantu   memonitor kecenderungan atau trend  penyakit. Mendeteksi perubahan mendadak insidensi penyakit,    mendeteksi dini kejadian luar biasa ‘outbreak’, data fasilitas pelayanan kesehatan, menaksir  beban penyakit (disease burden) di masyarakat; menentukan kebutuhan kesehatan prioritas, membantu perencanaan, implementasi, monitoring, evaluasi program,  cakupan dan efektivitas program,  mengidentifikasi kebutuhan riset kesehatan. Semua ini   pada gilirannya  berdampak  menurunnya angka kesakitan dan kematian serta meningkatkan status  kesehatan masyarakat.
Untuk mengoptimalkan peran surveilans, kegiatannya  diperluas dengan melibatkan masyarakat (community surveillance). Pelaksanaannya dengan  merekrut anggota masyarakat untuk dilatih menjadi kader kesehatan yang dapat melaksanakan tugas memantau dan mencatat  data  informasi kesehatan di wilayah kerjanya dan melaporkan secara berkala.  
Surveilans aktif
Surveilans aktif melibatkan  petugas khusus surveilans untuk mendata dan melakukan kunjungan berkala dan berkesinambungan ke lapangan, desa-desa, tempat praktik pribadi dokter dan tenaga medis lainnya, puskesmas, klinik, dan rumah sakit, atau tempat pelayanan kesehatan lainnya,  tujuannya mengidentifikasi dan mencatat adanya kasus baru penyakit atau kematian, petugas tersebut aktif  ‘mobile’ mencari dan  aktif dalam penemuan kasus (case finding) penyakit di masyarakat atau  tempat lainnya,  juga  mengkonfirmasi laporan adanya  kasus baru.  Surveilans aktif  dapat mengidentifikasi dan memantau potensi kejadian luar biasa (outbreak) penyakit dan juga trend penyakit di masyarakat.
Surveilans pasif
 Surveilans pasif memantau penyakit secara pasif, dengan menggunakan data penyakit  yang tersedia di fasilitas pelayanan kesehatan. Surveilans pasif relatif lebih sederhana  dilakukan hanya saja  kurang sensitif dalam mendeteksi kecenderungan penyakit. Ada banyak kasus  tidak terlaporkan karena tidak semua penderita sakit akan mengunjungi fasilitas kesehatan. Keterbatasan lainnya yakni biasanya tingkat pelaporan dan kelengkapannya  rendah, karena waktu petugas terbagi dengan tanggungjawab utama memberikan pelayanan kesehatan di fasilitas kesehatan masing-masing. Untuk mengatasi problem tersebut, instrumen pelaporan perlu dibuat ringkas,  mudah  terakses untuk dijadikan referensi dalam pembuatan kebijakan kesehatan.  Setidaknya surveilans pasif  telah berkontribusi  mengendalikan penyakit di masyarakat. 


Dampak Bencana Alam Terhadap Kesehatan Masyarakat

Diterbitkat pada Tribun timur opini tanggal 13 Maret 2014


Dampak  Bencana Alam Terhadap
Kesehatan Masyarakat

Oleh: A Arsunan Arsin
Guru Besar Epidemiologi FKM
Universitas Hasanuddin

Alam semesta menyimpan sejuta keindahan dan manusia sebagai penghuni selayaknya  mampu memelihara dan mengelolanyadengan baik sebagai  ciptaan Tuhan. Alam semesta juga menyimpan banyak misteri dimana manusia  tidak mampu mengurainya satu persatu. Untuk itu, dalam kondisi berbeda alam semesta bisa saja menunjukkan ‘fenomena’ melalui bencana  alam, kondisi ini  terjadi sebagai akibat   ketidakseimbangan ekosistem. Banyak kondisi bencana alam yang kejadiannya secara alamiah ‘natural disaster’, dan tidak sedikit bencana alam terjadi karena ulah dan kelalaian manusia ‘man made disaster’.
Natural Disaster                                               
Bencana alam  terjadi oleh karena ‘kemauan’ alam, artinya kondisi alam yang berada dalam posisi sewaktu-waktu terkena bencana. Indonesia adalah salah satu negara dengan  posisi yang  strategis dan potensial  timbul bencana alam seperti gempa bumi, letusan gunung, tanah longsor, banjir dan tsunami. Kondisi ini tidak terlepas dari letak geografis dan pemetaan  musim (hujan dan kemarau) di beberapa wilayah. Bencana gempa bumi dan tsunami diakibatkan oleh pergeseran lempeng tektonik di lapisan kerak bumi, mengingat di Indonesia terdapat garis lempeng tektonik Indo-Australia, sehingga  ‘lempengan’ tersebut sewaktu-waktu dapat bertabrakan di dasar laut dan berakibat gempa bumi.
Made disaster
Bencana alam seperti ini terjadi karena ulah dan kelalaian  manusia. Misalnya dengan berbagai aktifitas  pembangunan infrastruktur, penebangan pohon tidak terkendali, pembukaan lahan dimana-mana (pemukiman dan tanah garapan). Kondisi tersebut berpotensi mengurangi tempat/daerah resapan air,   ditambah  perilaku manusia yang suka buang sampah di sungai dan saluran air lainnya, dan pada gilirannya dapat menyebabkan banjir lokal ataupun banjir bandang. Faktor perilaku lainnya yang potensial menyebabkan bencana adalah membakar dan atau  buang puntung rokok di hutan, hal ini dapat menyebabkan kebakaran hutan, selain terjadi penggundulan hutan juga asap yang berlebihan dapat menjadi bencana bagi manusia.   
Dampak Kesehatan
Beberapa gangguan kesehatan paska bencana alam.  Dampak letusan gunung berapi adalah tercemarnya udara dengan abu gunung berapi (vulkanik) yang mengandung bermacam-macam gas mulai dari silika, mineral dan bebatuan, khlorida, natrium, kalsium, magnesium, sulfur dioksida, gas hidrogen sulfide atau nitrogen dioksida, serta beberapa partikel debu yang berpotensi meracuni makhluk hidup di sekitarnya. Paparan debu sangat berbahaya bagi bayi, anak-anak, warga usia lanjut dan orang dengan penyakit paru kronis seperti asma. Debu gunung berapi bisa mengakibatkan luka bakar, iritasi pada kulit dan mata, atau penyakit infeksi dan pernapasan seperti  pneumonia dan penyakit paru akibat debu yang mengandung silika. Gas yang keluar dari gunung berapi adalah gas yang larut dalam air, karbondioksida, dan sulfur dioksida. Sulfur dioksida dapat menyebabkan gangguan pernapasan, baik pada orang sehat maupun penderita penyakit paru.  Secara umum berbagai gas dari letusan gunung berapi dalam dosis rendah dapat mengiritasi mata, hidung dan tenggorokan, tapi dalam dosis tinggi dapat menyebabkan sesak napas, sakit kepala, pusing serta pembengkakan atau penyempitan saluran napas.
Masalah kesehatan  pasca-tsunami adalah kerusakan multisektoral antara lain kerusakan fasilitas kesehatan, sehinga anggota masyarakat yang sakit atau cacat akibat ‘serangan’ tsunami mengalami kesulitan dalam mengakses pelayanan kesehatan seperti pengobatan yang adequate. Kondisi kesehatan lingkungan pasca-tsunami memprihatinkan dengan sanitasi yang buruk. Minimnya fasilitas air bersih, binatang perantara bibit penyakit merajalela (tikus, lalat, nyamuk dan zoonosis lainnya) yang potensial menimbulkan epidemi penyakit (malaria, demam berdarah, filariasis, cikungunya, leptospirosis, kolera, diare, dan penyakit infeksi lainnya).   Tak kalah pentingnya adalah beban ‘trauma’ psikis yang berkepanjangan bagi  yang kehilangan anggota keluarga dan harta benda lainnya. Selanjutnya kurang tersedianya sandang dan pangan yang memadai mengakibatkan anggota masyarakat mengalami kekurangan ‘intake’ zat makanan atau gizi yang optimal.
Beberapa penyakit yang potensial mengganggu kesehatan masyarakat dan perlu diwaspadai pascabanjir adalah sebagai berikut: diare. Penyakit ini berkaitan erat dengan konsumsi air bersih untuk minum dan memasak.  Saat musim penghujan, khususnya saat banjir, banyak sumber air bersih termasuk sumur dan air ledeng ikut tergenang dan tercemar, sehingga kondisi ini berdampak pada sulitnya mengakses air yang layak untuk dikonsumsi.  Diare dapat menular dengan cepat dari satu individu ke individu lainnya karena selain akses air bersih yang sulit juga kontaminasi kuman ‘agent’ diare bisa menjalar ke tempat yang menjadi sumber mata air minum bersama. Penyakit lainnya terkait dengan  kontaminasi air adalah kelainan yang timbul seperti iritasi kulit, kutu air, dermatitis dan penyakit kulit lainnya. Hal ini disebabkan aktifitas yang dilakukan pada  genangan air, khususnya pada anak-anak yang memanfaatkan  air untuk bermain.   Demam berdarah (DBD), malaria, filariasis dan chikungunya juga  meningkat prevalensinya pascabanjir.   Dampak lain bencana alam  dalam skala besar adalah memunculkan banyak tenda pengungsi atau dengan kata lain anggota masyarakat yang selamat biasanya diungsikan dan ditampung sementara di tempat pengungsian. Masalah  muncul karena penanganan pengungsi biasanya tidak optimal, khususnya dari aspek kesehatan. Kelompok penduduk  paling rentan terhadap di tempat pengungsian adalah kelompok anak bayi dan balita, kelompok manusia lanjut usia, kelompok wanita dan ibu hamil dan menyusui. Kelompok anak bayi dan balita, kondisi tempat pengungsian biasanya ‘tidak ramah’ sehingga bayi sangat rentan terhadap penyakit tertentu seperti campak, ISPA dan diare. Kelompok anak balita  tingkat kerentanannya pada masalah kekurangan gizi, penyakit infeksi seperti tetanus, diare dan ISPA dan penyakit kulit. Kelompok manusia lanjut usia (Manula) tingkat kerentanannya tinggi karena ‘keterbatasan’ fisik,  kepadatan penghuni   bisa memicu penyakit TB paru, ISPA dan penyakit infeksi lainnya. Sedangkan kelompok terakhir yang cukup rentan adalah kelompok wanita dan ibu-ibu, biasanya karena ‘keterbatasan’ fasilitas dan sarana sehingga wanita mengalami kesulitan, misalnya wanita yang mengalami ‘datang-bulan’ padahal akses air bersih terbatas dan ibu menyusui rentan dengan berbagai risiko kesehatan baik untuk dirinya maupun untuk bayinya.